Karena pengangguran, aku memutuskan untuk mengurus sendiri proses balik nama sertifikat tanah dari sebidang tanah yang barusan kami beli. Mula-mula aku ragu-ragu apakah aku bisa menghadapi birokrasi yang sangat tidak aku sukai.Tapi mengingat berdasarkan info yang kudapat bahwa selisih biaya bila diurus sendiri dibanding lewat notaris sekitar satu juta rupiah, maka aku nekad melakukannya
Setelah negosiasi harga dengan pihak penjual mencapai kesepakatan, maka aku mulai mencari
informasi cara mengurus sertifikat. Kebetulan aku punya kenalan teman yang bekerja sebagai
pengavling tanah yang tahu seluk-beluk hal ini. Melalui dia aku tahu bahwa langkah awalnya
adalah menemui petugas pembuat akta tanah di kecamatan.
.
Dari informasi yang aku baca, Camat sebagai kepala kecamatan mempunyai wewenang sebaga
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang di pihak swasta dijalankan oleh Notaris. Di kantor
kecamatan, ada petugas khusus yang melayani masyarakat yang membutuhkan penyelesaian
urusan tanah mewakili Camatnya. Petugas inilah yang akan melayani kita menyelesaikan urusa
akta jual beli.
Untuk mengurus akta jual beli, surat-surat yang diperlukan adalah :
1. Salinan KTP dan KK pembeli.
2. Salinan KTP dan KK penjual suami istri.
3. Salinan Sertifikat Hak Milik tanah yang dijual.
4. Salinan BPHTB atau surat pajak tanah tahun terakhir.
Jika pemilik tanah yang namanya tercantum di sertifikat Hak Milik sudah meninggal, maka
diperlukan juga :
1. Salinan Surat Keterangan Kematian yang bersangkutan.
2. Salinan KTP seluruh ahli waris yang bersangkutan yaitu anak-anak dan istrinya.
Setelah surat-surat tersebut lengkap, sebelum proses transaksi dilakukan, pihak pembeli
melakukan penelitian terhadap keabsahan Sertifikat Hak Milik tanah yang dijual. Caranya
dengan mengajukan permintaan penelitian terhadap sertifikat tersebut ke Badan Pertanahan
Nasional kabupaten.
Sementara itu PPAT menyiapkan Akta Jual Beli yang akan ditandatangani penjual dan
pembeli.Dalam proses ini PPAT berkoordinasi dengan pihak kelurahan tempat tanah berada.
Setelah akta siap maka pihak penjual dan pembeli menandatanganinya sebagai tanda bahwa
proses transaksi telah legal.
Dari prosedur yang tertulis di atas, tampaknya mudah diikuti. Tapi pengalamanku mem-
buktikan bahwa prakteknya tidak sesederhana itu. Kalau kita menyerahkan proses jual beli
ini ke Notaris, maka kita tinggal duduk manis lalu semua beres asal bayar dua setengah juta
rupiah (th 2012). Berhubung kita mengurusnya melalui jalur "negeri" bukan jalur "swasta",
nah, disinilah adanya cerita.
Ketika menentukan biaya pengurusan akta jual beli dengan petugas kecamatan, aku berusaha
menawar dari angka yang dilontarkannya ( satu juta duaratus limapuluh ribu rupiah ). Tapi
berhubung waktu itu aku belum pede, menawarku kurang mantap jadi dia tetap kukuh
dengan angka sekian. Dan kupikir setelah aku bayar, aku tinggal tanda tangan AJB lalu
beres. Ternyata TIDAK.
Pengecekan SHM ke BPN kabupaten harus aku lakukan sendiri dan keluar biaya. Yaitu
lima puluh ribu rupiah dengan kwitansi resmi. Tapi ketika mengambil SHM yang sudah
di cek ada pembayaran tanpa kwitansi yang harus dilunasi sebesar duapuluh lima ribu
rupiah. Istilahnya uang pengambilan.
Untuk mendapatkan tanda tangan pihak penjual ternyata aku pun harus turun sendiri. Jadi
aku mendatangi pihak penjual untuk mencantumkan tanda tangannya di akta. Tidak gampang,
apalagi dia merasa terganggu karena harus meninggalkan pekerjaannya di sawah. Tapi
akhirnya tanda tangannya aku dapat juga.
Setelah AJB ditandatangani dan pembayaran ke PPAT aku beresi (tanpa kwitansi), kupikir
tinggal maju ke BPN lalu beres. Ternyata tidak juga.
Sebelum menyerahkan berkas berisi AJB dan SHM untuk balik nama ada permohonan
ijin peralihan hak pertanian yang dikeluarkan BPN juga. Biayanya seratus ribu dan tanpa
kuitansi. Setelah dua hari, ijin keluar. Ternyata nomor ijinnya harusdicantumkan di AJB.
Jadi aku balik lagi ke kecamatan. Kalau begitu harusnya ini tugas kecamatan, dong.
Seperti juga pengecekan sertifikat. Kan, itu semua hubungannya dengan AJB. Tapi itu
pendapatku, bukan pendapat petugas PPAT kecamatan.
Setelah urusan perijinan beres dan sudah dicantumkan di AJB, barulah proses balik nama
bisa dilakukan. Kita maju ke bagian penerima berkas di BPN. Setelah berkas diperiksa,
kita dipanggil lalu diberitahu biayanya. Lalu sambil agak berbisik, petugas bertanya, mau
memberi kas berapa dengan mengarahkan angkanya yang kalau dihitung lebih dari seratus
persen biaya resmi. Dengan agak pede aku coba menawar. Akhirnya aku kena limapuluh
ribu rupiah dibayar di petugas penerima berkas tanpa kwitansi. Sementara pembayaran
resmi dengan kwitansi ada petugasnya sendiri.
Nah, setelah proses ini selesai kita tinggal menunggu balik nama selesai sekitar dua minggu
jika tanpa perlu pengukuran. Kalau ada pengukuran tentu lebih lama lagi dan ada biaya
tambahan lagi.
Itulah ceritaku tentang mengurus sendiri sertifikat tanah tanpa melalui jasa notaris. Ada
pengalaman yang didapat walaupun kadang-kadang membuat hati agak jengkel. Setelah
dihitung-hitung, selisihnya lumayan juga jika dibanding diserahkan pada notaris. Lumayan
juga satu juta rupiah. Siapa mau coba ?