Selasa, 12 Juni 2012

IBUKU, KAKAKKU, ANAKKU ... JADILAH ...

Waktu itu ceritanya aku lagi siap-siap mau pergi ke luar kota sama kakakku dan anak-anaknya. Yang namanya mau pergi biasalah kalau nyiapin segala sesuatunya buat di jalan  kayak makanan sama yang lain-lain. 
Begitu juga aku, buat bekalnya aku beli pecel sayur di tetangga biar nanti di tempat tujuan bisa makan pecel, kayaknya seger banget. Nah, setelah pecelnya dapat, aku nyuruh anakku yang siswa SLB buat naruh tas kresek berisi bungkusan pecel sama baju ganti di mobil. Aku sendiri sibuk dengan persiapan lain sehingga nggak sempat ngecek apakah perintahku sudah dilaksanakan dengan baik.
Nggak tahunya anakku tercinta naruh tas kresek itu di tempat tanaman-tanaman hias di depan rumah karena mobilnya masih dikunci. Kemudian ketika ibuku lewat di depan rumah, beliau melihat ada tas kresek di tanaman hias. Tanpa melihat isinya beliau pikir, nih pasti sampah! sontak beliau nyuruh kakakku yang agak eror ingatannya buat mbuang tuh sampah di tempat penampungan yang letaknya agak ke sana dikit dari rumah.
Ternyata biarpun kakakku ini agak eror, dia masih ingat buat periksa dulu isi tas sebelum dibuang. Dan dia bisa menebak kalau salah satu isinya berpotensi jadi rejeki nomplok buat dia. Lalu diambillah bungkusan berisi pecel itu untuk diselamatkan sementara sisanya -baju ganti anakku- dibuang dengan sukses ke tempat sampah. Werrr...!!!
Pas kebetulan kakakku sedang menikmati temuannya lewatlah diriku dan melihat sesuatu yang bikin indra laba-labaku berdering .... kayaknya aku kok kenal, ya dengan sesuatu yang sedang dimakan kakakku itu. 
Spontan aku teriak, "Lho, itu pecelku kok dimakan?"
Kakakku tersentak, "Lah, ini kan sampah... !"
Otakku langsung muter dan aku langsung lari ke tempat pembuangan sampah. Celingak-celinguk, celingak-celinguk, lalu aku kenal tas kresek itu. Korek-korek dikit dan ... loh! bener nih bajunya anakku !
Gubrak!!! 
Jadi gitu deh, ibuku yang sok bersih tanpa cek and recek langsung order buang tuh sampah, pikirnya. Untung kakak masih sadar kalau bakal ada rejeki menanti kalau teliti. Siapa juga suruh anak SLB naruh barang berharga tanpa dicek lagi apa perintah sudah dilaksanakan dengan tepat.
Kalau gitu judulnya harusnya tambah DIRIKU, dong......  

Jumat, 08 Juni 2012

NIKMATNYA BERSEPEDA MOTOR

Mengendarai sepeda motor sudah bisa aku lakukan sejak usiaku empat belas. Semenjak itu aku sering bersepeda motor jika perlu bepergian ke suatu tempat. Setelah menjadi ibu dengan lima orang anak, kebisaanku itu sangat menolongku ketika aku harus mengunjungi mereka yang bersekolah jauh di luar kota.
Aku merasakan keuntungan dengan bersepeda motor ketika harus bepergian daripada bila aku menggunakan moda transportasi umum. Dari segi waktu tempuh bisa dibilang hampir sama, tapi dengan bersepeda motor sendiri kita menghemat waktu "ngetem" yang biasa dilakukan kendaraan umum untuk dapat lebih banyak penumpang. Dan dari segi biaya, jelas lebih murah naik sepeda motor.
Disamping itu dengan naik sepeda motor, kita bisa lebih leluasa bepergian karena waktu dan tujuan bisa kita atur sendiri sesuai keinginan kita. Tapi kekurangan utamanya adalah kehujanan, keanginan dan kepanasan. Juga kita tidak bisa duduk bersandar sambil goyang kaki. Artinya, bagi yang belum terbiasa siap-siap badan pegel, apalagi kalau jarak jauh.
Tapi bagi orang kepepet sepertiku, kekurangan-kekurangan tadi masih bisa ditolerir. Mengingat hanya itu satu-satunya moda transportasi yang dimiliki, maka kita syukuri saja dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sebisa mungkin kita memperkecil ketidaknyamanan sehingga kita bisa menikmati sebaik-baiknya.
Bagiku bersepeda motor untuk jarak sekitar 200 km pulang pergi masih mungkin aku lakukan sendiri (sembari memboncengkan si bungsu). Agar perjalanan menyenangkan, harus ada persiapan yang dilakukan.
Yang jelas surat-surat harus lengkap yaitu SIM dan STNK. Ini sangat berpengaruh pada rasa percaya diri (aku faham sekali karena sering juga berkendara tanpa membawa surat lengkap). Kemudian perlengkapan berkendara seperti helm yang nyaman, tutup muka, jaket, jas hujan, kaus tangan, kacamata, alas kaki dan pakaian yang cocok. semua harus diperhatikan kenyamanannya agar tidak mengurangi kenyamanan kita saat berkendara. Aku selalu menambahkan selendang untuk mengikat tubuhku dengan anakku yang membonceng di belakang sehingga tidak khawatir jika dia tidak berpegangan padaku.
Selain itu persiapan fisik juga sangat penting untuk diperhatikan. Tubuh harus dalam keadaan fit sehingga tidak mengurangi konsentrasi selama perjalanan. Kalau perli aku minum suplemen sebelum perjalanan, tapi aku pilih yang herbal.
Faktor lain yang diperhatikan, sebisa mungkin kita tidak berkendara setelah matahari tenggelam. Karena pada waktu malam, kita harus lebih konsentrasi ketika berkendara mengingat jarak pandang terbatas, sinar lampu dari kendaraan yang berpapasan kadang mengganggu pandangan, suhu udara yang lebih dingin dan juga kondisi tubuh yang secara umum lebih lemah karena sudah beraktivitas sejak pagi. Untuk itu aku selalu memperhitungkan  kemungkinan sampai di rumah kembali sebelum gelap. Lebih baik aku berangkat sangat pagi dan mengusahakan acara di tempat tujuan selesai secepatnya sehingga masih cukup waktu bagiku untuk kembali ke rumah sebelum gelap.
Dengan kiat-kiat tersebut, secara umum aku masih dapat menikmati perjalanan berkendara sepeda motor sendiri dengan jarak cukup jauh.

Jumat, 01 Juni 2012

Mengurus Sertifikat Tanah Sendiri? Aku Pernah

Karena pengangguran, aku memutuskan untuk mengurus sendiri proses balik nama sertifikat tanah  dari sebidang tanah yang barusan kami beli. Mula-mula aku ragu-ragu apakah aku bisa menghadapi birokrasi yang sangat tidak aku sukai.Tapi mengingat berdasarkan info yang kudapat bahwa selisih biaya bila diurus sendiri dibanding lewat notaris sekitar satu juta rupiah, maka aku nekad melakukannya
          Setelah negosiasi harga dengan pihak penjual mencapai kesepakatan, maka aku mulai mencari
          informasi cara mengurus sertifikat. Kebetulan aku punya kenalan teman yang bekerja sebagai
          pengavling tanah yang tahu seluk-beluk hal ini. Melalui dia aku tahu bahwa langkah awalnya
          adalah menemui petugas pembuat akta tanah di kecamatan.
          .
          Dari informasi yang aku baca, Camat sebagai kepala kecamatan mempunyai wewenang sebaga
          Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang di pihak swasta dijalankan oleh Notaris. Di kantor
          kecamatan, ada petugas khusus yang melayani masyarakat yang membutuhkan penyelesaian
          urusan tanah mewakili Camatnya. Petugas inilah yang akan melayani kita menyelesaikan urusa
          akta jual beli.

          Untuk mengurus akta jual beli, surat-surat yang diperlukan adalah :
          1. Salinan KTP dan KK pembeli.
          2. Salinan KTP dan KK penjual suami istri.
          3. Salinan Sertifikat Hak Milik tanah yang dijual.
          4. Salinan BPHTB atau surat pajak tanah tahun terakhir.
       
          Jika pemilik tanah yang namanya tercantum di sertifikat Hak Milik sudah meninggal, maka
          diperlukan juga :
          1. Salinan Surat Keterangan Kematian yang bersangkutan.
          2. Salinan KTP seluruh ahli waris yang bersangkutan yaitu anak-anak dan istrinya.
        
          Setelah surat-surat tersebut lengkap, sebelum proses transaksi dilakukan, pihak pembeli
          melakukan penelitian terhadap keabsahan Sertifikat Hak Milik tanah yang dijual. Caranya
          dengan mengajukan permintaan penelitian terhadap sertifikat tersebut ke Badan Pertanahan
          Nasional kabupaten.

          Sementara itu PPAT menyiapkan Akta Jual Beli yang akan ditandatangani penjual dan
          pembeli.Dalam proses ini PPAT berkoordinasi dengan pihak kelurahan tempat tanah berada.
          Setelah akta siap maka pihak penjual dan pembeli menandatanganinya sebagai tanda bahwa
          proses transaksi telah legal.

          Dari prosedur yang tertulis di atas, tampaknya mudah diikuti. Tapi pengalamanku mem-
          buktikan bahwa prakteknya tidak sesederhana itu. Kalau kita menyerahkan proses jual beli
          ini ke Notaris, maka kita tinggal duduk manis lalu semua beres asal bayar dua setengah juta
          rupiah (th 2012). Berhubung kita mengurusnya melalui jalur "negeri" bukan jalur "swasta",
          nah, disinilah adanya cerita.

          Ketika menentukan biaya pengurusan akta jual beli dengan petugas kecamatan, aku berusaha
          menawar dari angka yang dilontarkannya ( satu juta duaratus limapuluh ribu rupiah ). Tapi
          berhubung waktu itu aku belum pede, menawarku kurang mantap jadi dia tetap kukuh
          dengan angka sekian. Dan kupikir setelah aku bayar, aku tinggal tanda tangan AJB lalu
          beres. Ternyata TIDAK.

          Pengecekan SHM ke BPN kabupaten harus aku lakukan sendiri dan keluar biaya. Yaitu
          lima puluh ribu rupiah dengan kwitansi resmi. Tapi ketika mengambil SHM yang sudah
          di cek ada pembayaran tanpa kwitansi yang harus dilunasi sebesar duapuluh lima ribu
          rupiah. Istilahnya uang pengambilan.

         Untuk mendapatkan tanda tangan pihak penjual ternyata aku pun harus turun sendiri. Jadi
         aku mendatangi pihak penjual untuk mencantumkan tanda tangannya di akta. Tidak gampang,
         apalagi dia merasa terganggu karena harus meninggalkan pekerjaannya di sawah. Tapi
         akhirnya tanda tangannya aku dapat juga.

         Setelah AJB ditandatangani dan pembayaran ke PPAT aku beresi (tanpa kwitansi), kupikir
         tinggal maju ke BPN lalu beres. Ternyata tidak juga.

         Sebelum menyerahkan berkas berisi AJB dan SHM untuk balik nama ada permohonan
         ijin peralihan hak pertanian yang dikeluarkan BPN juga. Biayanya seratus ribu dan tanpa
         kuitansi. Setelah dua hari, ijin keluar. Ternyata nomor ijinnya harusdicantumkan di AJB.
         Jadi aku balik lagi ke kecamatan. Kalau begitu harusnya ini tugas kecamatan, dong.
         Seperti juga pengecekan sertifikat. Kan, itu semua hubungannya dengan AJB. Tapi itu
         pendapatku, bukan pendapat petugas PPAT kecamatan.

         Setelah urusan perijinan beres dan sudah dicantumkan di AJB, barulah proses balik nama
         bisa dilakukan. Kita maju ke bagian penerima berkas di BPN. Setelah berkas diperiksa,
         kita dipanggil lalu diberitahu biayanya. Lalu sambil agak berbisik, petugas bertanya, mau
         memberi kas berapa dengan mengarahkan angkanya yang kalau dihitung lebih dari seratus
         persen biaya resmi. Dengan agak pede aku coba menawar. Akhirnya aku kena limapuluh
         ribu rupiah dibayar di petugas penerima berkas tanpa kwitansi. Sementara pembayaran
         resmi dengan kwitansi ada petugasnya sendiri.

         Nah, setelah proses ini selesai kita tinggal menunggu balik nama selesai sekitar dua minggu
         jika tanpa perlu pengukuran. Kalau ada pengukuran tentu lebih lama lagi dan ada biaya
         tambahan lagi.

         Itulah ceritaku tentang mengurus sendiri sertifikat tanah tanpa melalui jasa notaris. Ada
         pengalaman yang didapat walaupun kadang-kadang membuat hati agak jengkel. Setelah
         dihitung-hitung, selisihnya lumayan juga jika dibanding diserahkan pada notaris. Lumayan
         juga satu juta rupiah. Siapa mau coba ?